BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS

Friday, December 3, 2010

MAHASISWA UI DAN INDONESIA YANG "SEBENARNYA"


Ma’rifatul Amalia
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Ketika Tuhan memutuskan untuk menciptakan bumi, Dia pun menciptakan wilayah-wilayah yang pada akhirnya menjadi negara-negara pengisi peta dunia. Tuhan pun menciptakan negara yang indah, memesona, dan hampir sempurna. Dia memberikan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah di negara tersebut. Belum lagi letaknya yang sangat strategis di belahan dunia sebelah timur, diapit dua samudera dan dua benua besar. Pulau-pulaunya ribuan dan di dalamnya dihuni manusia-manusia yang beragam karakter serta kebudayaannya. Sampai saat ini, orang-orang menyebut negara itu: Indonesia.
Indonesia pun menjadi negara yang potensial untuk menjadi “penguasa” dunia, ditinjau dari kondisi geografis dan segenap potensi yang dikandungnya. Namun, kesadaran-kesadaran seperti itu memang belum sempurna “mengena” di sanubari penghuninya. Masih banyak yang belum menyadari betapa Indonesia akan menjadi “negara besar” kelak. Apa bukti “kekurangsadaran” mereka?
Faktanya, berdasarkan Human Development Index (HDI), Indonesia hanya berada pada peringkat 111, bahkan dikalahkan oleh Palestina yang sampai saat ini masih berkonfrontasi dengan Israel. Dalam Political Economic Research Consultancy pun Indonesia hanya menempati posisi ke-16, sedangkan Singapura menduduki peringkat pertama padahal luas wilayahnya tidak lebih dari Jakarta. Ironisnya, angka Corruption Perseption Index Indonesia bercokol di 2,8 yang menunjukkan masih tingginya angka korupsi di negeri tercinta ini. Walhasil, predikat negara terkorup di wilayah Asia Pasifik pun “sukses” diraih Indonesia.
Dari data tersebut dapat diambil poin-poin penting, yakni: daya saing Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang dilihat dari penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) masih lemah, ditambah lagi dengan mentalitas yang korup, nasionalisme yang kurang cerdas hingga terjadi perpecahan di pelosok-pelosok nusantara, radikalisme dan anarkisme yang bersifat destruktif bagi persatuan dan kesatuan Indonesia sendiri. Segala fenomena tersebut melanda hampir seluruh elemen masyarakat Indonesia dalam berbagai tingkatan, mulai dari para pemangku jabatan hingga rakyat jelata yang masih pasrah menunggu keadaan. Langkah-langkah strategis pemerintah pun masih dilakukan dengan setengah hati. Akibatnya, penuntasan berbagai kasus, misalnya korupsi dan terorisme, masih terbilang “tebang-pilih” dan setengah-setengah sehingga setiap permasalahan cenderung “timbul-tenggelam”. Seminggu penuh menjadi headline indah menghiasi halaman pertama koran nasional, lalu seminggu kemudian sudah menghilang dan masyarakat pun melupakan kasus yang tak tuntas tersebut.
Sayangnya, belum ada niat yang maksimal dari pemerintah Indonesia untuk mengatasi permasalahan Indonesia secara menyeluruh dari akar hingga pucuk-pucuk daunnya. Politik yang berorientasi pada kekuasaan untuk selanjutnya menjadi batu loncatan memperkaya diri, masih kerap dilakukan. Negosiasi-negosiasi di hotel berbintang pun masih menjadi tradisi. Politik, ekonomi, dan hukum pun “diakali” dengan dalih untuk rakyat, padahal “pundi-pundinya” mengalir ke kantong para pemegang “oligarkhi berkaki tiga”. Hal ini berakibat belum maksimalnya pemenuhan kebutuhan komponen dasar pembangunan manusia, yakni: peluang hidup (longevity), akses terhadap pengetahuan (knowledge), dan standar hidup yang layak (decent living). Ujung-ujungnya, tingkat kepercayaan rakyat Indonesia pada pemerintah pun menurun. Pada Oktober 2010, hasil survei tingkat kepuasan masyarakat Indonesia pada SBY hanya 75%, menurun drastis daripada hasil survey pada Agustus 2009 yang masih “nongkrong” pada angka 90%.
Hasil survei tersebut cukup beralasan karena secara psikologis, rakyat Indonesia sudah mulai bosan menunggu realisasi janji-janji kampanye. Rakyat sudah lelah menghadapi permasalahan yang tak kunjung selesai, namun penanganannya lambat dan berujung pada hasil yang kurang memuaskan semua pihak. Emosi rakyat sudah memuncak dan tidak tertahankan. Pernyataan-pernyataan ketidakpuasan itu tercermin pada obrolan-obrolan masyarakat di warung-warung, perempatan jalan, hingga di berbagai lingkar diskusi mahasiswa maupun para pakar.
Beruntunglah, setelah Soeharto dengan “Orde Baru”-nya lengser dan Indonesia memasuki tahapan baru yakni reformasi, “kran-kran” penyampaian pendapat pun terbuka lebar sehingga pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan mengeluarkan pendapat, lebih optimal dalam aplikasinya di masyarakat. Berbagai media menyediakan ruangan khusus menampung opini dan pemikiran dari masyarakat, baik dari para ahli, mahasiswa, maupun kalangan masyarakat umum. Ekstremnya lagi, kemunculan internet berikut situs jejaring sosial yang diusungnya menjadi sebuah tren tersendiri. Saran, kritik, masukan-masukan yang ditujukan pada pemerintah sering disampaikan melalui facebook, twitter, blog, dan sejenisnya. Media-media tersebut juga menjadi wadah terbuka yang menampung segala keluhan masyarakat dan semua orang di Indonesia, bahkan di dunia, dapat menanggapinya dengan bebas. Kasus-kasus yang menjadi “topik utama” dalam dunia maya juga beragam. Mulai dari seputar isu-isu politik dan pemerintahan, sepak bola, hingga masalah rumah tangga pun dapat menjadi bahasan menarik antarindividu pengguna situs jejaring sosial. Uniknya lagi, karena hanya dilakukan di balik layar komputer, adakalanya orang-orang yang tidak pernah atau jarang menyuarakan pendapat di dunia nyata justru malah “cerewet” lewat tulisan-tulisan di dunia maya. Sarana online berpotensi sebagai gebrakan baru dalam dunia pergerakan mahasiswa dan masyarakat sebab dapat memberikan pengaruh pada massa.
Mendapati berbagai realita yang terjadi di Indonesia, timbullah suatu keprihatinan yang cukup mendalam. Kekuatan sebenarnya yang dimiliki Indonesia dapat membuat Indonesia melakukan hal lebih daripada pencapaian yang didapatinya sekarang. Pun masih ada waktu untuk memperbaiki dan membenahi Indonesia dari aspek mendasar, meskipun hal tersebut membutuhkan waktu cukup lama dan usaha yang tidak “sekadarnya”. Di sinilah mahasiswa mulai ambil peran. Melalui “predikat” yang disandangnya, secara tidak langsung mahasiswa juga menjadi agent of change, iron stock, dan moral force. Ketiga fungsi ini “hanya” bisa dijalankan oleh sekitar 2% dari jumlah penduduk Indonesia yang berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi.
Universitas Indonesia pun menjadi universitas terkemuka di Indonesia dan salah satu dari 200 perguruan tinggi top dunia. UI pun memiliki posisi strategis. Suara-suara mahasiswa UI yang kritis terhadap situasi politik dan pengambilan kebijakan publik sering dijadikan pertimbangan oleh para pengambil kebijakan. Berbagai kegiatan mahasiswa UI yang berhubungan langsung dengan masyarakat pun menjadi sarana pengabdian masyarakat. Tri Dharma Perguruan Tinggi menjadi “pedoman” dalam setiap nafas kegiatan mahasiswa. Pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat pun menjadi kata-kata “pamungkas” yang mendasari setiap kegiatan dan idealisme mahasiswa.
Mahasiswa sebagai kalangan akademis dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi-nya, berupaya menginternalisasikan nasionalisme dalam diri. Kondisi Indonesia saat ini, dengan “kesuksesan-kesuksesannya” jangan hanya menjadikan generasi penerusnya “malu” mengakui Indonesia, namun harus menjadikan keyakinan bahwa “hal memalukan” ini harus diperbaiki. Mahasiswa memang tidak bisa secara langsung dan “gampang” mengubah kebijakan pemerintah demi rakyat, atau bahkan ikut serta “satu ruangan” dalam pengambilan kebijakan tersebut, namun paling tidak setiap pemikiran demi pemikiran mahasiswa dapat menginspirasi masyarakat dan juga pemerintah.
Untuk saat ini, mungkin kurang relevan jika mahasiswa “hanya” menjadikan aksi-aksi demonstrasi sebagai “cara tunggal” untuk memperjuangkan rakyat. Forum-forum diskusi yang memberikan rekomendasi pada pemerintah, perjuangan lewat rangkaian kata dalam media massa, perjuangan tak kenal lelah seorang relawan pengabdian masyarakat, hal-hal tersebut pun menjadi sarana untuk memperbaiki Indonesia. Aksi “turun ke jalan” menjadi opsi terakhir jika pemerintah sudah “tuli” akan suara-suara di media.
Indonesia yang dulu, sekarang, bahkan Indonesia di masa mendatang pun membutuhkan mahasiswa-mahasiswa, segelintir orang-orang terbaik yang mampu membebaskan bangsa ini dari belenggu penjajahan non-konvensional. Imperialisme modern berupa tekanan-tekanan ekonomi, politik, hukum, menjadi musuh riil yang harus segera disadari oleh setiap elemen masyarakat Indonesia, apapun peran dan jabatan mereka. Di antara ancaman eksternal yang menderu-deru Indonesia disertai “kebobrokan” internal pemerintah yang masih “egois” dengan dirinya, bangsa Indonesia merindukan sosok-sosok inspiratif yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, “turun tangan” memperbaiki kehidupan dan kesejahteraan rakyat dengan keteguhan idealisme yang dimilikinya.
Mahasiswa UI dengan segala kelebihannya, mahasiswa UI dengan segala idealisme yang mulai terbangun saat menduduki bangku kuliah, merupakan sebagian kecil dari unsur pembangun bangsa. Kerinduan dan keyakinan Indonesia akan lahirnya para “angkatan pejuang baru” pun ibarat pupuk yang memberikan harapan, Indonesia yang lebih baik. Kesadaran-kesadaran inipun perlu ditumbuhkembangkan di kalangan mahasiswa. Melalui berbagai diskusi dan obrolan santai, hendaknya satu dari setiap mahasiswa yang “sadar diri dan tanggung jawab bangsa” mampu menularkan semangat ini pada kawan-kawannya. Dengan demikian, mahasiswa tidak berjuang secara individu, akan tetapi secara kolektif membangun Indonesia.

Kerinduan dan penantian sebuah bangsa pada mahasiswanya Selengkapnya...